Harimau Sumatera
Acacia mangium
et regnavit in omni silva
Rabu, 21 Januari 2015
Selasa, 16 Desember 2014
KAMPUNG ADAT
KAMPUNG NAGA
Kampung Naga merupakan
suatu perkampungan yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang sangat kuat
dalam memegang adat istiadat peninggalan leluhurnya, dalam hal ini adalah adat Sunda. Seperti permukiman Badui,
Kampung Naga menjadi objek kajian antropologi mengenai kehidupan masyarakat
pedesaan Sunda pada masa peralihan dari pengaruh Hindu menuju pengaruh Islam di
Jawa Barat.
Sejarah
Kampung Naga
Kampung Naga
merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari. Masyarakatnya masih memegang
adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar
jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut. Namun, asal
mula kampung ini sendiri tidak memiliki titik terang. Tak ada kejelasan
sejarah, kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya
kampung dengan budaya yang masih kuat ini. Warga kampung Naga sendiri menyebut
sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor". Pareum jika
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri
berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu,
Matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah kampung naga itu sendiri.
Mereka tidak mengetahui asal usul kampungnya. Masyarakat kampung naga
menceritakan bahwa hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/ sejarah mereka
pada saat pembakaran kampung naga oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo. Pada
saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung
Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat
Organisasi tersebut. Oleh karena itu, DI/TII yang tidak mendapatkan simpati
warga Kampung Naga membumihanguskan perkampungan tersebut pada tahun 1956.
Adapun
beberapa versi sejarah yang diceritakan oleh beberapa sumber diantaranya, pada
masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, seorang abdinya
yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah
Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa
Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana
oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia
mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana
mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut
Kampung Naga. Namun masyarakat kampung Naga sendiri tidak meyakini kebenaran
versi sejarah tersebut, sebab karena adanya "pareumeun obor" tadi.
Lokasi dan
Tofografi
Kampung ini
secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan
Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya,
Provinsi Jawa Barat.
Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya.
Kampung
ini berada di lembah yang subur, dengan batas wilayah, di sebelah Barat Kampung
Naga dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam
leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah
penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Ci Wulan (Kali Wulan) yang
sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh
dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari
kota Garut jaraknya 26 kilometer. Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan
raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah di tembok (Sunda :
sengked) sampai ke tepi sungai Ciwulan dengan kemiringan sekitar 45
derajat dengan jarak kira-kira 500 meter. Kemudian melalui jalan setapak
menyusuri sungai Ciwulan sampai kedalam Kampung Naga.
Menurut data
dari Desa Neglasari, bentuk permukaan tanah di Kampung Naga berupa perbukitan
dengan produktivitas tanah bisa dikatakan subur. Luas tanah Kampung Naga yang
ada seluas satu hektare setengah, sebagian besar digunakan untuk perumahan,
pekarangan, kolam, dan selebihnya digunakan untuk pertanian sawah yang dipanen
satu tahun dua kali.
Religi dan
Sistem Pengetahuan
Penduduk
Kampung Naga semuanya mengaku beragama Islam. Pengajaran mengaji bagi anak-anak di Kampung Naga
dilaksanakan pada malam Senin dan malam Kamis, sedangkan pengajian bagi orang
tua dilaksanakan pada malam Jumat. Dalam menunaikan rukun Islam yang kelima
atau ibadah Haji, mereka beranggapan tidak perlu jauh-jauh pergi ke Tanah Suci Mekkah,
namun cukup dengan menjalankan upacara Hajat Sasih yang waktunya bertepatan
dengan Hari Raya Haji
yaitu setiap tanggal 10 Rayagung (Dzulhijjah). Upacara
Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Hari
Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri.
Menurut
kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan
nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang
datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak
dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut
dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak
menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.
Kepercayaan
masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya
jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama
bagian sungai yang dalam ("leuwi"). Kemudian "ririwa"
yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada
malam hari, ada pula yang disebut "kunti anak" yaitu mahluk
halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka
mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat
yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung
Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga
tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi ageung
dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat
Kampung Naga.
Tabu, pantangan
atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh
khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas
kehidupannya.pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak
tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya
tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah,pakaian upacara,
kesenian, dan sebagainya.
Bentuk rumah
masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap
rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat
dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke
sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik
atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali
dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu
membuat rumah tembok atau gedung (gedong).
Rumah tidak
boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur.
Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut
anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu
depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun
pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu
garis lurus.
Di bidang
kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan
pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek,
dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong.
Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga
adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah
jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama
oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton
kesenian wayang, pencak silat, dan
sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung
Naga.
Adapu pantangan
atau tabu yang lainnya yaitu pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Masyarakat
kampung Naga dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal usul kampung
Naga. Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang
merupakan cikal bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di Tasikmalaya
ada sebuah tempat yang bernama Singaparna, Masyarakat
Kampung Naga menyebutnya nama tersebut Galunggung, karena kata Singaparna
berdekatan dengan Singaparna nama leluhur masyarakat Kampung Naga.
Sistem
kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan bahwa
ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan
kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah
bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air
mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat
antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang
didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas
tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker atau sanget.
Itulah sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka menyimpan
"sasajen" (sesaji).
Kepercayaan
masyarakat Kampung Naga terhadap waktu terwujud pada kepercayaan mereka akan
apa yang disebut palintangan. Pada saat-saat tertentu ada bulan atau waktu yang
dianggap buruk, pantangan atau tabu untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang
amat penting seperti membangun rumah, perkawinan, hitanan, dan upacara adat.
Waktu yang dianggap tabu tersebut disebut larangan bulan. Larangan bulan
jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Rhamadhan. Pada bulan-bulan tersebut
dilarang atau tabu mengadakan upacara karena hal itu bertepatan dengan upacara
menyepi. Selain itu perhitungan menentukan hari baik didasarkan pada hari-hari
naas yang ada dalam setiap bulannya, seperti yang tercantum dibawah ini:
- Muharam (Muharram) hari Sabtu-Minggu tanggal 11,14
- Sapar (Safar) hari Sabtu-Minggu tanggal 1,20
- Maulud hari (Rabiul Tsani)Sabtu-Minggu tanggal 1,15
- Silih Mulud (Rabi'ul Tsani) hari Senin-Selasa tanggal 10,14
- Jumalid Awal (Jumadil Awwal)hari Senin-Selasa tanggal 10,20
- Jumalid Akhir (Jumadil Tsani)hari Senin-Selasa tanggal 10,14
- Rajab hari (Rajab) Rabu-Kamis tanggal 12,13
- Rewah hari (Sya'ban) Rabu-Kamis tanggal 19,20
- Puasa/Ramadhan (Ramadhan)hari Rabu-Kamis tanggal 9,11
- Syawal (Syawal) hari Jumat tanggal 10,11
- Hapit (Dzulqaidah) hari Jumat tanggal 2,12
- Rayagung (Dzulhijjah) hari Jumat tanggal 6,20
Pada hari-hari
dan tanggal-tanggal tersebut tabu menyelenggarakan pesta atau upacara-upacara
perkawinan, atau khitanan. Upacara perkawinan boleh dilaksanakan bertepatan
dengan hari-hari dilaksanakannya upacara menyepi. Selain perhitungan untuk
menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan seperti upacara perkawinan,
khitanan, mendirikan rumah, dan lain-lain, didasarkan pada hari-hari naas yang
terdapat pada setiap bulannya.
Aksebilitasi
Kendaraan
Pribadi
Dari Jakarta ke
Kampung Naga rutenya adalah Tol Jakarta - Cikampek -> Tol Purbaleunyi ->
Gerbang Tol Cileunyi -> Nagreg -> arah Garut Kota -> Cilawu ->
Lokasi Kampung Naga.
Dari Bandung ke
Kampung Naga rutenya adalah Cileunyi -> Rancaekek -> Nagreg > - Leles
dan Garut Kota -> Cilawu -> Lokasi Kampung Naga.
Kendaraan
Umum
Dari Jakarta
naik bus jurusan Kampung Rambutan - Garut - Singaparna turunkan di Lokasi
Kampung Naga.
Dari Bandung
menggunakan bus Diana Prima di Terminal Cicaheum jurusan Bandung - Garut -
Tasikmalaya (singaparna), lalu berhenti di Kampung Naga.
Semoga Bermanfaat
Sumber :
Wikipedia
Langganan:
Postingan (Atom)